Berangkat dari Fungsi Alamiahnya


Sejarah hutan Jati dapat dikatakan berawal dari tuntutan alamiah akan fungsi dari jenis tanaman ini, selaku penyedia sebuah habitat yang memungkinkan segala bentuk makhluk daratan dapat hidup sejahtera di dalamnya.

Dalam khasanah kata bahasa Inggris hutan disebut forest, yang jika dibagi dalam dua suku kata dapat terdiri: fo(r- dan -r)est artinya untuk pemulihan. Jadi, hutan pun dapat dimaknai sebagai tempat kita memulihkan diri, atau pun untuk kembali segar – “for refresh” – entahlah.

Pohon jati cocok tumbuh di daerah dengan sifat tanah kering dan mengandung kapur, sebaran tempat dia bertumbuh meliputi sejumlah besar kawasan di benua Asia sampai ke pulau Jawa.

Karakter pohon ini kuat bertahan tumbuh lama di tanah tandus - sifat umum daerah pegunungan kapur yang miskin unsur kesuburan lahan (hara) - selama tidak tidak ditebang atau dirusak orang.

Dengan kemampuan khusus untuk menjaga siklus klimatologis di daerah tempat pertumbuhannya, tanaman Jati merupakan penyumbang penting bagi terjadinya kelangsungan ekosistem yang dapat bekerja secara natural.

Dibuktikan dengan gugur daun di musim kemarau (mengalirkan cadangan air tanah, sesuatu yang sangat vital di daerah dengan suhu tropik) dan kembali berdaun lebat saat datang musim hujan, yang merupakan fungsi alamiahnya sebagai penyerapan air.

(P01J01 – SJTE)
read more “Berangkat dari Fungsi Alamiahnya”

Menyusun Strategi Pemasaran untuk Usaha Kecil


Konsep marketing merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam menjalankan sebuah usaha. Baik peluang usaha baru maupun usaha yang telah lama dirintis, baik usaha kecil maupun usaha yang telah berkembang sekalipun. Semuanya membutuhkan konsep marketing untuk mengembangkan usaha yang dijalankan. Berbicara tentang konsep marketing, maka sesungguhnya kita sedang membicarakan bagaimana strategi pemasaran produk yang kita jual.

Hal itu pulalah yang dihadapi oleh usaha kecil yang saat ini banyak bermunculan. Merencanakan strategi pemasaran yang tepat untuk menarik minat konsumen pada usaha kecil masih sangatlah sulit. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengembangkan usaha kecil tentunya dengan fokus pada strategi pemasaran.

Dengan terbatasnya anggaran marketing yang dimiliki usaha kecil, bukan berarti menjadikan usaha kecil kalah dengan usaha skala besar. Untuk itu kita harus lebih kreatif dengan anggaran biaya yang minim untuk menghasilkan strategi pemasaran yang tepat. Berikut beberapa cara untuk mengoptimalkan pemasaran dengan anggaran terbatas :

  1. Bekerjasama dengan pengusaha atau rekan Anda untuk pemasangan iklan
  2. Mencoba mengirimkan penawaran produk kepada pelanggan serta memberikan potongan harga untuk paket pembelian tertentu.
  3. Perkenalkan produk dan usaha Anda melalui media gratis, hal ini akan membantu pencarian para konsumen tentang produk yang Anda tawarkan. Misalnya saja publikasi melalui internet.
  4. Libatkan lingkungan yang ada disekitar usaha Anda, dalam salah satu kegiatan yang usaha Anda laksanakan. Ini dapat dijadikan sebagai salah satu cara publikasi gratis kepada masyarakat sekitar.

Selain itu beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyusun strategi pemasaran untuk usaha kecil yaitu sebagai berikut :

1. Konsistensi

Dengan adanya konsistensi terhadap semua area marketingnya, dapat membantu mengurangi biaya marketing dan meningkatkan efektivitas penciptaan merek.

2. Perencanaan

Perencanaan konsep marketing yang akan dijalankan usaha kecil sangat mempengaruhi banyaknya pelanggan yang diperoleh. Oleh karena itu luangkan waktu untuk merencanakan strategi marketing, anggaran marketing, serta konsep lainnya yang berhubungan dengan pemasaran.

3. Strategi

Strategi merupakan dasar untuk kelanjutan kegiatan marketing yang telah direncanakan, misalnya siapa target pasar, bagaimana usaha kecil membidik pelanggan, dan bagaimana cara menjaga konsumen yang ada sebagai pelanggan tetap.

4. Target Market

Mendefinisikan secara tepat pangsa pasar yang dituju, dengan memilih satu atau lebih dari segmen pasar yang akan dimasuki. Target pasar yang jelas akan membuat konsep marketing lebih mudah dilaksanakan.

5. Anggaran

Menghitung anggaran marketing merupakan bagian yang berat dan membutuhkan keakuratan hasil hitungan. Dari anggaran yang dibuat, dapat dipersipkan dana yang akan dibutuhkan untuk pemasaran. Biasanya usaha kecil membuat anggaran dengan tidak terlalu akurat, sehingga terjadi pemborosan.

6. Marketing Mix

Marketing mix biasanya dijelaskan sebagai produk, harga, tempat, dan promosi. Sebagai pengusaha kecil, perlu memutuskan dengan spesifik produk (atau jasa), harga yang sesuai, dimana dan bagaimana Anda akan mendistribusikan produk Anda, dan bagaimana orang lain dapat mengetahui tentang produk yang ditawarkan.

7. Website

Saat ini bisnis apapun termasuk usaha kecil usahakan memiliki website, karena hampir 60% konsumen datang dari informasi dari internet. Sehingga informasi produk melalui website pun sangat mendukung peningkatan jumlah pelanggan yang tertarik dengan produk Anda.

8. Branding

Branding adalah bagaimana konsumen menerima produk dan perusahaan yang membuat produk tersebut. Terkadang usaha kecil selalu melupakan kebutuhan brand atau pengenalan gambar, logo, bahkan produk yang usaha kecil hasilkan.

9. Promosi dan iklan

Promosi dan iklan merupakan konsep marketing yang harus dipertimbangkan pada berbagai bsnis dan produk, termasuk pada usaha kecil. Promosi dan iklan yang baik akan menghasilkan pengakuan brand yang efektif hingga mampu meningkatkan penjualan.

10. Customer Relationship Management

Pengelolaan hubungan dengan pelanggan yang tepat menjadi salah satu hal penting untuk menciptakan konsumen yang loyal dan konsisten. Misalnya saja dengan membuat kartu membership, dan memberikan potongan harga tertentu bagi para member.

Ingat, bahkan sebuah usaha bisa hancur jika strategi pemasaran yang diterapkan tidak tepat. Oleh karena itu, review kembali konsep pemasaran dan rencana strategi pemasaran Anda, agar usaha Anda dapat berkembang lebih cepat dan tepat.

read more “Menyusun Strategi Pemasaran untuk Usaha Kecil”

Pentingnya Logo dalam Pemasaran Produk

“Mengapa para pelaku usaha mencantumkan logo pada setiap produknya?”

Karena melalui logo, konsumen bisa mengenali sebuah produk dengan lebih mudah.

Tepat sekali, ternyata penggunaan logo pada sebuah produk membantu para pelaku usaha dalam memasarkan produk-produknya. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan konsumen yang lebih mudah untuk mengingat sebuah gambar atau bentuk, dalam mengenali sebuah produk baru. Bahkan tak jarang para konsumen bisa membeli sebuah produk berdasarkan bentuk dan gambar yang mereka ingat, walaupun sebenarnya mereka lupa akan nama produk tersebut.

Pentingnya logo dalam pemasaran produk, memang disadari oleh para pelaku usaha. Bagi mereka, logo menjadi salah satu media promosi untuk mengenalkan brand produk kepada konsumen. Sehingga dari ciri khas bentuk dan gambar yang ada, konsumen bisa membedakan suatu produk dengan produk lainnya.

Tips dan Trik Membuat Logo Produk
Agar Anda tidak salah dalam membuat logo produk, berikut kami informasikan tips dan trik membuat logo produk menjadi lebih menarik dan mudah diingat oleh konsumen :

1. Logo mudah diingat semua orang

Buat logo dengan bentuk yang sederhana, tetapi bisa mewakili pesan produk tersebut. Dengan begitu konsumen mudah mengingat sebuah produk, dari logo yang dilihatnya. Contohnya saja produk coca-cola yang mencantumkan gambar botol pada logo produknya.

2. Buat logo yang unik dan menarik

Salah satu cara untuk membantu branding sebuah produk, yaitu dengan membuat logo yang unik dan menarik. Karena kebanyakan orang akan lebih mudah mengingat sesuatu yang unik. Selain itu hindari penggunaan logo yang sudah banyak digunakan perusahaan lain. Biasanya logo yang hampir-hampir mirip, membuat konsumen kesulitan membedakan produk Anda dengan produk lainnya.

3. Hindari logo yang bersifat musiman

Pastikan logo yang Anda gunakan bersifat abadi. Adanya pergantian logo sesuai dengan musim atau trend yang ada, hanya akan merusak image atau brand yang selama ini sudah terbentuk. Karena konsumen sudah terlanjur mengenali produk Anda, dari logo yang terdahulu.

4. Pilih warna dan desain logo produk yang bisa digunakan di semua media

Ini dimaksudkan agar logo Anda bisa cocok dicetak dalam berbagai ukuran dan media. Banyak pelaku usaha yang menggunakan strategi pemasaran dengan mencantumkan logo produk melalui berbagai alat promosi, seperti baner, spanduk, kartu nama, brosur, serta media lain yang ukurannya lebih kecil. Jadi, sebaiknya pilih perpaduan warna dan desain yang bisa disesuaikan dengan semua media promosi yang Anda gunakan.

Dari pembahasan diatas, bisa disimpulkan bahwa dengan adanya logo produk cukup membantu proses branding (brand building) suatu produk. Oleh karena itu, sebelum Anda membuat logo untuk sebuah produk, sebaiknya perhatikan beberapa hal tersebut. Sekian informasi pemasaran bisnis untuk pekan ini, semoga informasi yang sedikit tersebut bisa membantu kesuksesan bisnis Anda. Salam sukses.

read more “Pentingnya Logo dalam Pemasaran Produk”

Potensi Industri Meubel Jepara


Jawa Tengah memiliki sentra-sentra industri yang keunikannya sulit ditiru. Ini merupakan potensi sangat besar untuk terus dikembangkan, sehingga kontribusinya terhadap perekonomian daerah ini bisa makin signifikan. Denyut ekonomi Jawa Tengah sangat kental diwarnai tumbuhnya sentra-sentra industri di sejumlah kota/kabupaten di wilayah ini. Yang menarik, setiap sentra industri punya keunikan yang tak gampang ditiru oleh daerah lain, bahkan negara lain. Tentu saja, ini merupakan potensi ekonomi yang harus didorong terus pertumbuhannya agar dari waktu ke waktu mampu memberikan kontribusi yang makin signifikan terhadap perekonomian daerah dan nasional.

Siapa yang tak kenal ukiran kayu Jepara, yang sudah mampu menembus pasar ekspor di pelbagai negara? Kota Jepara, yang berada di bagian utara Jawa Tengah, memang terkenal dengan sentra industri mebel (kayu) ukiran. Total nilai bisnis industri mebel di kota ini tahun 2006 tercatat Rp 1,3 triliun. Jumlah perusahaan yang terlibat di industri ini mencapai 518 perusahaan, sementara jumlah tenaga kerjanya 27.271 orang. Dan, sekitar 60% produk meubel Jepara dijual ke pasar mancanegara dan sisanya ke pasar dalam negeri.

Pemerintah daerah Jepara akan terus memperbaiki sejumlah fasilitas yang ada untuk mendorong perkembangan sentra industri mebel ukir di kota ini. Caranya, memperkuat fasilitas umum, seperti Jepara Trade Center. Pusat perdagangan yang diluncurkan pada 2007 ini terdiri atas pusat promosi (yang juga berfungsi sebagai balai lelang), pusat informasi, pusat desain, serta advokasi atas hak dan kekayaan intelektual.

Seputar Industri Mebel

Industri mebel Indonesia terdiri atas produk-produk kayu (kayu karet, mahogani, jati, akasia), rotan dan logam/plastik baik untuk ekspor maupun konsumsi dalam negeri. Sementara perusahaan besar umumnya mengkhususkan diri pada campuran panel (kayu lapis, papan partikel dan papan serat kepadatan sedang) dan kayu keras, produsen kecil-menengah berfokus pada mebel kayu keras. Hal itu disebabkan oleh tingginya biaya modal yang diperlukan untuk menghasilkan mebel berlapis panel. Bagi produsen kecil-menengah, biaya panel yang dibeli sebagai bahan masih tinggi, sebagaimana harga pasar produk-produk ini tercermin pada permintaan dalam negeri dan ekspor terhadap kayu lapis, papan partikel, dan papan serat kepadatan sedang (Tinjauan Rantai Industri Mebel tanggal 16 Februari 2007).

Sentra-sentra industri mebel dan kerajinan di Jawa Tengah terutama berkembang pesat di Semarang, Jepara, Solo dan Yogyakarta. Industri permebelan dan kerajinan ini didominasi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan sistem home industry yang bekerjasama dengan industri-industri besar (Road Map Revitalisasi Industri Kehutanan Indonesia, 2007).

Menurut Road Map Revitalisasi Industri Kehutanan Indonesia (2007), permasalahan yang dihadapi industri permeubelan dan kerajinan sebagai berikut:

- kurangnya bahan baku

- negative brand image akibat pembalakan liar

- rendahnya kualitas produk Indonesia dibanding produk dari negara lainnya.

- lebih mahalnya harga produk Indonesia dibanding pesaing.

- lebih disukainya produk-produk bersertifikat.

Ambar Tjahyono, Ketua Umum ASMINDO menyebutkan dari segi kualitas bahan baku dan desain produk, Indonesia memiliki keunggulan dibandingkan dengan negara produsen mebel lainnya (Bank Ekspor Indonesia, 2007).

Proses Produksi

1. Setelah ditebang, kayu bulat dikuliti dan dipotong menjadi papan di kilang gergaji, kemudian kayu ditumpuk dan diantar dengan truk ke lahan penerimaan pabrik mebel. Syarat pembayaran biasanya tunai ke kontraktor yang memotong dan mengangkut kayu. Bahan-bahan lain, dari panel sampai lem, bahan pemulas, perkakas, kemasan, dan bahan tak langsung dibuat setempat atau di pabrik mancanegara dan dibeli dari pemasok yang biasanya bekerja atas pembayaran net-30, yang berarti seluruh tagihan harus dibayar ke pemasok bahan mentah dalam 30 hari.

2. Setelah diterima oleh pabrik meubel, papan ditempatkan di kamar hampa autoklaf. Campuran encer boraks (untuk terapan penindasan jamur noda biru) dan boriks (insektisida) dimasukkan ke kamar hampa itu dan menyusupi segenap serat dari kayu yang sedang dirawat. Lalu, papan dipindahkan dan ditempatkan langsung di kamar pengering untuk dikeringkan.

3. Proses pengeringan mencakup penghembusan terus-menerus udara panas dan kering ke kamar pengering. Gerakan hidrolis menarik kelembapan yang terbenam jauh di papan. Banyak kamar pengering kini dikendalikan komputer untuk memantau keadaan kamar. Kamar pengering dipantau secara berkala dan kandungan kelembapan sejumlah papan diperiksa. Kayu dikeluarkan setelah kandungan kelembapan kurang dari 10%.

4. Kayu gergajian yang dikeringkan ini dipotong dan digiling di mesin penggosok atau pencetak. Kerja pencetakan memotong enam sisi sekaligus, menghasilkan kayu halus berukuran tepat dan siap untuk pengolahan selanjutnya.

5. Langkah pengolahan berikutnya adalah menyambung-gerigikan (finger-joint) potongan-potongan pendek kayu untuk menyusun papan yang lebih panjang. Potongan lika-liku (zigzag) papan yang tersambung-gerigi memaksimalkan bidang permukaan kayu yang dilem. Jika dilakukan dengan benar, kayu tersambung-gerigi lebih kuat daripada kayu alami yang melingkunginya. Papan sambungan ini digabungkan di mesin tekan kepit besar, lalu digosok lagi untuk menghilangkan kekasaran atau beda ketebalan atau lebar di sepanjang papan.

6. Setelah digiling, dibentuk dan diputar, komponen-komponen dipulas dalam sebuah proses banyak langkah yang mencakup beberapa lapisan awal plamir. Langkah itu melenyapkan permukaan yang tak rata dan lubang di kayu, menghasilkan permukaan licin yang siap bagi pemulasan akhir. Satu-satu komponen dipulas sebagai komponen bagian dari suatu satuan rangkai-sendiri (knock down) atau satuan utuh lewat perakitan memakai paku dan sekrup.

7. Beberapa langkah ulangan diperlukan dalam pemulasan. Pertama, plamir disapukan dalam satu atau dua lapisan. Plamir adalah bahan dari lak yang cepat kering dan, saat kering, membuat penggosokan efisien. Setelah itu, konveyor cat memudahkan kerja penyemprotan dan penganginan. Biasanya sebuah oven segaris menjadi bagian dari jalur perakitan dan memercepat proses pengeringan. Setelah kering, komponen dipindahkan dan dikemas untuk dikapalkan menggunakan lembaran busa polietilen dan karton luar lima lidah (five-ply).

ASPEK PEMASARAN :

Keadaan supply dan demand

· Perdagangan mebel di pasar dunia saat ini trennya juga cenderung terus membaik. Nilai perdagangan mebel dunia meningkat dari USD 51 milyar pada tahun 2000 menjadi USD 76 milyar pada tahun 2005. Pada 2006, angkanya telah melonjak naik menjadi USD 80 miliar (Bank Ekspor Indonesia, 2007).

· Namun, pangsa pasar mebel di dunia masih dipegang oleh negara pengekspor mebel terkemuka, antara lain: Italia yang menguasai pangsa pasar sebesar 14,18 %, disusul Cina (13,69%), Jerman (8,43%), Polandia (6,38%), dan Kanada (5,77%). Sedangkan pangsa pasar meubel Indonesia saat ini hanya mencapai 2,9% (Bank Ekspor Indonesia, 2007).

· Indonesia telah memertahankan pangsa pasarnya lebih-kurang tetap selama lebih dari tiga tahun terakhir pada angka 2,5%, sekalipun terjadi lonjakan tajam pangsa pasar yang direbut oleh China.

· Pemerintah telah mengupayakan untuk mengembangkan industri meubel dan menetapkan sektor ini sebagai salah satu dari 10 komoditas unggulan ekspor Tanah Air. Selama tahun 2005, ekspor meubel dan kerajinan Indonesia telah mencapai sebesar USD 1,8 miliar. Skala itu meningkat di tahun 2006 menjadi USD 2,2 miliar. Bahkan, di tahun 2007, nilai ekspor meubel dan kerajinan ditargetkan mencapai USD 2,9 miliar. Dan, jika tak ada hambatan, pada 2010 pemerintah menargetkan ekspor meubel nasional bisa menembus USD 5 miliar (Bank Ekspor Indonesia, 2007).

Kondisi persaingan

- Persaingan di pasar ekspor berasal baik dari produsen lokal maupun produsen luar negeri relatif ketat, antara lain :

- Pesaing usaha sejenis yang berasal dari lokal dan sekitarnya.

- Pesaing usaha sejenis yang berasal dari luar negeri saat ini masih cukup banyak yaitu antara lain dari negara Cina, Vietnam, Kamboja, Malaysia dan Myanmar, dimana mereka cukup gencar menyerbu pasar Eropa dengan keunggulan kualitas yang tinggi dan harga yang lebih murah karena bahan kayu jati yang melimpah di negara masing-masing, namun dari negara-negara tersebut sebagian besar perusahaan besar yang tidak mau mengekspor dalam partai kecil (satu-dua kontainer dengan barang yang tidak sejenis).

Strategi usaha

Strategi usaha yang perlu dilakukan oleh industri meubel adalah:

- Menciptakan produk yang responsif terhadap permintaan pasar, khususnya pengembangan produk yang unik dan berdesain etnik.

- Membangun dan menggunakan sumber-sumber pasokan bahan baku alternatif.

- Investasi dan perbaikan teknologi.

Sumber : http://bisnisukm.com/potensi-industri-meubel-jepara.html

read more “Potensi Industri Meubel Jepara”

Pertumbuhan Industri Diprediksi Bakal Tekor


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pelaku usaha memprediksi laju pertumbuhan industri 2011 ini akan tekor di tengah himpitan kebijakan pemerintah kontra produktif atas pencabutan capping (pembatasan) Tarif Dasar Listrik (TDL) Industri maksimal 18 persen dan penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 241/2010 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk (BM) Atas Barang Impor.

“Industri nasional akan bertumbuh di bawah 5%, atau sama seperti yang terjadi pada tahun lalu. Bahkan, mungkin bisa bertumbuh minus pada tahun ini,” tegas Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat Usman, di kantor Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Jakarta, Rabu (26/1/2011).

Menurutnya, penerapan BM impor akan sangat berdampak cepat sekali akan menghantam dunia industri, karena sistem tersebut akan membuat para pelaku usaha mau tidak mau harus membayar beban biaya tersebut di awal.

Selain itu, pengaruh PMK 241/2010 it, menurutnya, sangat besar sekali dampaknya yang dirasakan. Contohnya saja, produsen TPT terpaksa menunda untuk membeli mesin baru. Dan bagi mereka yang sudah membeli, terpaksa menyiapkan dana ekstra untuk membayar biaya tambahan BM tersebut berdasarkan aturan baru.

“Produsen tidak bisa membatalkan pembelian barang modal impor karena sudah kontrak. Juga tidak bisa menunda di pelabuhan karena terancam membayar demorage. PMK 241/2010,” tegasnya.

Ade melenajutkan, program restrukturisasi mesin TPT yang digencarkan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga akan tidak sejalan dengan PMK 241/2010. Sebab, meski dana belanja mesin tersebut akan dirembes atau disubsidi oleh Kemenperin, penambahan BM 5%, akan tidak sepadan dengan hasil yang diterima. Belum lagi menurutnya akan ditambah, risiko lainnya.

“Kami mendesak pemerintah membatalkan PMK 241/2010 dan mengajak pengusaha untuk membahas kembali dalam setahun ini merevisi regulasi tersebut. Pihak Bea dan Cukai hanya mengakui kalau ada Surat Keputusan tertulis. Dia tidak peduli, meski Menteri atau Presiden memberikan pernyataan di media. Terus terang, PMK itu anomali dan tidak harmonis,” tegasnya.

Penulis: Srihandriatmo Malau | Editor: Prawira Maulana
read more “Pertumbuhan Industri Diprediksi Bakal Tekor”

Industri Hancur, Rakyat Menganggur




ANCAMAN PERDAGANGAN BEBAS
Hendrawan Supratikno, Anggota Komisi VI DPR.

JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah tidak boleh lepas tangan membiarkan industri di dalam negeri terpuruk akibat kian derasnya serbuan produk impor. Makin banyaknya industri yang tutup karena tidak mampu menghasilkan produk yang berdaya saing untuk menandingi impor niscaya memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menyusutkan lapangan kerja.
Demikian pendapat pengamat ekonomi internasional Syamsul Hadi di Jakarta kemarin. Dalam kesempatan terpisah, anggota Komisi VI DPR Hendrawan Supratikno dan guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang Ahmad Erani Yustika juga menuturkan pendapat hampir senada.
Mereka menilai, selama ini pemerintah menerapkan liberalisasi perdagangan berdasarkan sistem perdagangan bebas secara penuh. Dalam hal ini, arus masuk barang impor tidak dikenai bea masuk (BM). Akibatnya, pasar lokal didominasi produk impor.
Di sisi lain, pemerintah tidak kunjung merealisasikan komitmen meningkatkan daya saing industri di dalam negeri. Sementara barang impor yang masuk ke dalam negeri tergolong murah dan berkualitas karena dihasilkan industri yang mendapat dukungan penuh pemerintah.
Menurut Syamsul Hadi, pemerintah jangan terkesan melupakan upaya peningkatan daya saing produk nasional yang dihasilkan industri dalam negeri. Pemerintah saat ini lebih banyak menyiapkan peraturan yang justru mendorong liberalisasi perdagangan. Padahal, yang seharusnya diutamakan adalah menyiapkan produk unggulan nasional untuk bersaing di pasar internasional.
"Saat saya ke Korea Selatan, mulai dari ibu kota hingga ke daerah pedesaan, rata-rata masyarakatnya menggunakan produk yang dibuat oleh industrinya sendiri. Di negara kita, rata-rata barang yang dipakai masyarakat buatan China dan Jepang," katanya di Jakarta kemarin.
Menurut Syamsul Hadi, pemerintah selaku pembuat kebijakan masih mengikuti pola pikir globalisasi dan liberalisasi. Pemerintah mengikuti paham bahwa dalam globalisasi saat ini, berbagai negara berada pada tahapan yang sama di dalam bidang perdagangan. Dalam hal ini semua negara kompetitor memiliki kesempatan yang sama. Karena itu, para penganut ideologi globalisasi sangat menggemari gerakan yang mendukung liberalisasi dan perdagangan bebas, seperti China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA).
Padahal beberapa bulan setelah diberlakukannya perjanjian perdagangan bebas China-ASEAN (CAFTA), volume barang impor seperti mainan anak-anak, tekstil, dan lain-lain menunjukkan peningkatan pesat. Ini berujung pada penutupan sejumlah perusahaan dan industri di dalam negeri.
Sementara itu, Hendrawan Supratikno mengatakan, kebijakan ekonomi pemerintah yang makin liberal malah akan berdampak pada mandeknya perekonomian nasional. Ancaman deindustrialisasi, membeludaknya angka pengangguran dan kemiskinan merupakan cerminan nyata yang akan diterima Indonesia dengan kebijakan liberalisasi perdagangan yang diusung pemerintah ini.
Menurut dia, seharusnya politik ekonomi yang dilakukan pemerintah mengacu pada amanat konstitusi, sehingga kebijakan yang dirumuskan dilaksanakan untuk menyejahterakan bangsa dan rakyat Indonesia. "Kalau liberalisasi tidak punya arah yang jelas dan tidak mengacu pada konstitusi, jadinya pasti amburadul dan menyengsarakan rakyat," katanya.
Amanat pada Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 tentang perekonomian nasional, tentunya harus disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Kata "disusun" ini harus ditelaah dengan baik karena menitahkan peran aktif pemerintah. Jadi, bukan malah melakukan pembiaran seperti yang dilakukan saat ini (mekanisme pasar).
"Politik ekonomi keterlibatan (hands-on) harus dijalankan, bukan pembiaran (hands-off)," tuturnya.
Lebih jauh dia mengatakan, bagaimanapun bentuk liberalisasi yang dianut suatu negara dalam bidang perdagangan, maka negara tetap harus memunyai peran untuk mengatur pasar. Jika pemerintah melepaskan semua pada kebijakan mekanisme pasar, maka tentunya rakyat yang akan menjadi korban dan akan mengalami proses marginalisasi permanen. Namun, tampaknya masalah ini tidak menjadi perhatian pemerintah dan terbukti kebijakan yang ada justru mendorong masuknya barang-barang impor nyaris tanpa hambatan.
Untuk itu, kebijakan liberalisasi harus diatur secara ketat, baik menyangkut tahapannya (stage), urutannya (squence) maupun kecepatannya (pace). Tentunya liberalisasi juga boleh dilakukan, tetapi hanya untuk memfasilitasi terciptanya kompetisi sehat agar efisiensi industri dicapai. Namun, tampaknya ini tidak menjadi fokus pemerintah dan menerapkan sistem perdagangan bebas secara penuh.
Pemerintah juga tidak pernah melihat kalau setiap kebijakan terkait masalah ekspor-impor, seperti pengenaan bea masuk, juga harus menyertakan skenario terkait dampaknya (regulatory impact assessment). Dengan ini, pemerintah bisa melakukan antisipasi dengan tepat dan cermat terkait apa yang harus disiapkan untuk melaksanakan perdagangan bebas.
Di lain pihak, Ahmad Erani Yustika mengatakan, permasalahan maraknya barang impor dan kian terpuruknya industri nasional yang terjadi saat ini hendaknya dilihat dari banyak aspek. Saat ini, pemerintah tidak lagi menempatkan sektor pertanian dan industri sebagai pendorong kegiatan ekonomi. Pemerintah lebih suka mengurus dan mendorong sektor jasa dan keuangan (non-tradable), seperti telekomunikasi, perdagangan, dan lainnya. Sektor-sektor ini dinilai pemerintah lebih menjanjikan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya, pemerintah tidak lagi memperhatikan pohon industri untuk ditata secara rapi. Akibatnya, sub-sub sektor industri yang berkembang tidak berdasarkan desain yang jelas. Padahal, pohon industri ini penting untuk dibangun, karena akan menentukan sektor primer yang dikembangkan dan sektor hilir/jasa yang ditumbuhkan. Apalagi, keterkaitan antarsektor menjadi lenyap karena ketidakjelasan pohon industri itu.
Pemerintah sendiri, lanjutnya, keliru dalam mendesain insentif ekonomi dengan menerapkan perdagangan bebas meski sektor industri belum cukup kuat, misalnya industri mebel berbasis rotan. Bahan baku rotan dibiarkan dibawa ke luar negeri. Padahal, industri domestik juga membutuhkan pasokan yang cukup. Begitu juga dengan kelapa sawit mentah yang terus-menerus diekspor karena tidak ada insentif untuk membangun industri pengolahan kelapa sawit.
"Sektor keuangan semakin jauh dari sektor industri karena tidak ada konsep yang konkret untuk mendukung pembangunan industri. Dahulu ada Bank Exim yang bisa menopang kegiatan ekspor-impor dan BNI untuk sektor tertentu. Namun, sekarang ini tidak ada desain yang jelas seperti yang dilakukan di masa lalu. Mestinya setiap bank pemerintah diberi beban untuk mengembangkan subsektor tertentu, seperti yang dilakukan Jepang," ujarnya.
Lebih jauh Erani menjelaskan, dibutuhkan kelembagaan yang solid untuk melindungi industri dalam negeri. Hal tersebut dilakukan dengan memberikan insentif untuk kegiatan produksi dan distribusi barang yang dibangun secara permanen. Namun, saat ini seluruh lini kegiatan sektor industri dijalankan dengan mengandalkan "hukum rimba" yang dipenuhi dengan "ekonomi mafia". Tidak ada perlindungan terhadap hak kepemilikan, sehingga pemalsuan, penjiplakan, dan aneka pembajakan terus terjadi tiap hari.
"Seluruh pekerjaan rumah inilah yang harus dirampungkan untuk membangun sektor industri yang tangguh," tuturnya. (Bayu)

Sumber Berita : http://www.suarakarya-online.com
read more “Industri Hancur, Rakyat Menganggur”

Rontoknya Industri Nasional




KIAN hari jalan menuju rontoknya industri nasional kian nyata. Deindustrialisasi yang enam tahun lalu masih berupa kekhawatiran, kini mulai menjelma menjadi kenyataan.

Hasil survei Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di lima provinsi pada 2010 meneguhkan fakta itu. Banyak pengusaha kecil dan menengah beralih menjadi pedagang, karena banyaknya hambatan berproduksi.

Itulah misalnya yang menimpa mayoritas penjahit penghasil produk tekstil industri rumah tangga. Mereka tidak sanggup lagi bertahan sebagai produsen. Sebab, bertahan menjadi produsen sama saja dengan bunuh diri.

Bunuh diri, karena bahan baku sulit diperoleh dan tarif listrik terus naik, menyebabkan ongkos memproduksi terus membengkak. Dua hal itu saja membuat mereka tidak mampu bersaing dengan barang China yang membanjiri negeri ini dengan harga lebih murah.

Padahal, industri rumah tangga seperti tekstil merupakan embrio industri yang lebih besar. ISEI memprediksi apabila embrionya saja sudah tidak mampu bertahan, dalam waktu 2-3 tahun, jika tidak ada pembenahan, industri nasional bakal ambruk.

Kalau industri ambruk, bisa dibayangkan pengangguran bakal meningkat akibat banyaknya pemutusan hubungan kerja. Dampak selanjutnya, jumlah orang miskin yang diklaim pemerintah mulai berkurang, dipastikan membengkak lagi.

Celaka lima belas, pemerintah seperti tidak terlalu peduli. Pemerintah lebih sibuk memainkan peran sebagai politisi sehingga hampir semua persoalan dikalkulasi dalam bingkai politik praktis. Intinya, asalkan tidak membahayakan kepentingan politik di 2014, mau industri ngos-ngosan, sempoyongan, atau roboh sekalipun tidak masalah. Yang penting retorika memajukan industri dan membela kepentingan mereka harus tetap digaungkan.

Perkara ada kesenjangan antara retorika dan fakta, itu soal lain. Dinilai gagal pun bukan persoalan, asalkan tidak dituding berbohong.

Pemerintah seperti membiarkan industri nasional bak anak tiri di negeri sendiri. Mereka hidup bagaikan tanpa memiliki pemerintah. Mereka berperang sendiri melawan rupa-rupa persoalan. Meminta bantuan pemerintah, yang diminta bantuan malah menuding para pengusaha cengeng dan suka mengeluh.

Padahal, tanda-tanda menuju deindustrialisasi sudah mulai tampak lima tahun lalu. Itu bisa dibaca dari pertumbuhan industri nasional yang terus turun dalam empat tahun terakhir. Pada 2004, pertumbuhan industri masih 7,5%. Tapi pada 2005 turun menjadi 5,9%, tahun berikutnya melorot menjadi 5,3%, dan pada 2007 hanya tumbuh 5,15%.

Pada 2008 industri kita tumbuh 3,66%. Bahkan, pada 2009, akibat krisis ekonomi global industri kita cuma tumbuh 2,6%.

Padahal, pada masa sebelum krisis ekonomi 1997-1998, perekonomian nasional sangat ditopang industri yang tumbuh rata-rata 12% per tahun. Kini, pertumbuhan industri kita lebih rendah daripada pertumbuhan produk domestik bruto.

Kalau negara ini tidak ingin menyaksikan industri nasional sekarat, setoplah beretorika memajukan industri. Gantilah dengan langkah cepat memberantas semua persoalan yang melilit industri dengan kebijakan yang proindustri.

Kebiasaan menuding pengusaha cengeng dan suka mengeluh harus dihentikan, karena yang mereka keluhkan memang persoalan yang hanya bisa ditanggulangi oleh pemerintah.

Contohnya, sampai kapan pemerintah membiarkan negara ini dijajah oleh produk tekstil murah dan murahan buatan China?

Sumber Berita : http://www.mediaindonesia.com
read more “Rontoknya Industri Nasional”

Fahmi Idris: Produk Dalam Negeri Tergilas Barang China

`


Jakarta - Mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengingatkan kembali dampak perdagangan bebas China-ASEAN yang semakin menggilas produk dalam negeri dan mendorong industri nasional gulung tikar karena membanjirnya barang-barang dari China.

"Pemerintah harus berbuat sesuatu untuk membatasi membanjirnya barang-barang China di pasar nasional. Kalau tidak, kita hanya menjadi bangsa pedagang dan pengimpor," katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa.

Menurut Fahmi, semua pihak, terutama pemerintah dan DPR, harus berusaha agar industri nasional mampu bertahan menghadapi serbuan produk China dari mulai tekstil, makanan, perkakas, mesin-mesin sampai mainan anak-anak.

"Jika tidak, maka terjadi ancaman ribuan pengusaha industri besar dan sedang, terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja secara massal akibat perdagangan bebas yang berlaku sejak 1 Januari 2010 tersebut," kata mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi itu.

Fahmi menyatakan perdagangan bebas ASEAN-China sangat memukul industri nasional. Indonesia tidak siap menghadapinya meski terpaksa harus diberlakukan awal tahun 2010.

"AS saja tidak bisa menghalangi. Pusat kulakan AS, Walmart, sebanyak 95 persen barangnya produksi China," katanya lagi.

Produk China, menurut Fahmi, tidak ada bedanya dengan produk Indonesia. Beberapa produk andalan nasional mulai tergeser barang China di pasar sendiri. Batik, misalnya, bakal terpukul dengan membanjirnya batik Cina yang dengan kualitas lebih baik, namun harganya lebih murah.

"Pengrajin batik Indonesia sudah diboyong ke China untuk membantu desainnya. Motifnya Indonesia, tapi produksi China," katanya.

CEO Mustika Ratu, Putri K Wardani, mengungkapkan produk kosmetik China juga mengancam industri kosmetik lokal. Sementara Ketua Umum Asosiasi Keuangan Mikro Indonesia Aries Muftie menambahkan bahwa seiring dengan membanjirnya produk China, kecintaan pada produk dalam negeri melemah.

Oleh karena itu, katanya, diperlukan kebijakan yang tegas-tegas membela produk nasional dari serbuan asing. "Indonesia perlu orang seperti Fahmi Idris yang bisa menjadi Mahatma Gandhi Indonesia. Tampaknya gerakan swadesi perlu dilakukan," kata Aries Muftie.

Ketua Assosiasi Pengusaha Indonesia, Sofyan Wanandi, pernah mengungkapkan bahwa ada 16 sektor usaha yang belum siap memasuki pasar bebas. Sektor yang keberatan dibukanya pasar bebas ASEAN-China tersebut antara lain tekstil, baja, ban, mebel, pengolahan kakao, industri alat kesehatan, kosmetik, aluminium, elektronika, petrokimia hulu, kaca lembaran, sepatu, mesin perkakas, dan kendaraan bermotor.

Sumber :
(ANTARA News)
read more “Fahmi Idris: Produk Dalam Negeri Tergilas Barang China”

Pengusaha Mebel Jepara Ramaikan Pameran Internasional



JEPARA : Puluhan pengusaha mebel berasal dari Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, akan mengikuti pameran tingkat internasional yang akan diselenggarakan di Jakarta pada 11-14 Maret 2011.

"Pengusaha mebel yang akan mengikuti Interational Furniture and Craft Fair Indonesia 2011 di Jakarta, diperkirakan mencapai 33 pengusaha skala kecil dan menengah, ditambah beberapa pengusaha besar," kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kabupaten Jepara, Edy Sujatmiko, di Jepara, Jawa Tengah, Selasa (18/1).

Sebagai bentuk dukungan terhadap puluhan pengusaha mebel yang mengikuti pameran mebel internasional itu, kata dia, Pemkab Jepara akan memberikan subsidi sewa tempat pameran kepada pengusaha kecil dan menengah sebesar Rp400 ribu per meter persegi dari harga per meter sebesar Rp1,6 juta.

Pada pameran tersebut, kata dia, Jepara mendapatkan jatah tempat seluas 1.900 meter persegi. Dari luas 1.900 meter persegi tersebut, katanya, seluas 1.000 meter persegi disediakan untuk pengusaha mebel tingkat menengah dan kecil. "Sisanya untuk pengusaha besar yang saat ini mampu mandiri," ujarnya.

Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Komda Jepara, Akhmad Fauzi, mengatakan, anggotanya akan mendapatkan bonus sekitar 20 persen dari harga sewa tempat pameran secara normal.

"Hal ini untuk mendorong para pengusaha mebel Jepara rutin mengikuti pameran agar dikenal di dalam negeri maupun di luar negeri," ujarnya.

Ia menyatakan pentingnya pengusaha mebel proaktif melalui strategi jemput bola untuk pemasaran produk dan bukan hanya menunggu pesanan seperti tahun-tahun sebelumnya. Dengan diikutinya pameran internasional tersebut, Akhmad Fauzi menyatakan optimistis bisa menarik minat pembeli maupun ekspor akan bertambah.

Bagian Pemasaran dan Promosi Asmindo, Andre Sundriyo, menjelaskan, pameran tersebut dalam rangka mendongkrak nilai ekspor di Indonesia termasuk di Jepara. "Pasalnya pembeli dari berbagai belahan dunia akan hadir dalam pameran tersebut," ujarnya.

Berdasarkan data pameran serupa tahun sebelumnya, kata dia, ada sekitar 2.700 pembeli berasal dari 117 negara. "Sedangkan pada tahun 2011, diprediksi mengalami kenaikan menjadi 3.000 lebih pembeli dari puluhan negara," ujarnya.

Sejumlah pengusaha mebel, katanya, ada yang ditunjuk mengikuti pameran di Italia, Prancis, Spanyol, dan berbagai negara lainnya yang memang berpotensi untuk pasar mebel Indonesia yang memiliki kekhasan.
Sumber Berita : http://www.mediaindonesia.com
read more “Pengusaha Mebel Jepara Ramaikan Pameran Internasional”

DAFTAR DOKUMEN YANG DIPERLUKAN UNTUK AUDIT VLO (VERIFICATION OF LEGAL ORIGIN) DAN LACAK BALAK/COC







A. Dokumen yang diperlukan Pabrik (pengolah bahan baku) 1. Kebijakan tertulis dari manajemen mengenai pembelian bahan baku berisi komitmen
terhadap pengelolaan hutan lestari dan tidak membeli bahan baku kayu dari sumber illegal
atau tidak jelas dan hanya akan membeli kayu yang jelas asal-usulnya dan atau bersertifikat
hutan lestari ditandatangani oleh top manajemen

2. Penunjukan petugas atau karyawan yang bertanggung jawab terhadap sistem CoC atau VLO
dan penanggung jawab dimasingmasing fungsi (setiap proses), bisa berupa SK penunjukan
dan atau pengangkatannya dari top manajemen :
- penanggung jawab umum (general)
- penanggung jawab per bagian (marketing atau EXIM, pembelian, produksi/PPIC, gudang,
dan pengiriman)
- penetapan tugas dan tanggung jawabnya di masing-masing bagian (job description) dan juga
dikaitkan dengan tugasnya untuk menangani CoC atau VLO seperti apa.

3. Menetapkan ruang lingkup sistem CoC-nya (dalam manual/prosedur CoC) produk apa yang
akan dijadikan produk bersertifikat VLO/CoC

4. Membuat sistem kontrol CoC (lacak balak) dalam suatu prosedur-prosedur atau manual CoC):
- prosedur marketing (penanganan order VLO/CoC)
- prosedur pembelian material/bahan baku VLO/CoC
- prosedur penerimaan dan penyimpanan bahan baku VLO/CoC
- prosedur proses produksi dan pengendalian produk VLO/CoC
- prosedur pengendalian produk jadi VLO/CoC
- prosedur pelabelan produk VLO/CoC
- prosedur penjualan, export atau pengiriman produk/shipping VLO/CoC
- prosedur administrasi (penagihan)
- Prosedur Internal audit untuk CoC dan VLO

5. Menyediakan dan membuat form-form atau rekaman untuk catatan masing-masing kegiatan
proses dari masing-masing prosedur

6. Menetapkan atau menghitung faktor conversi (rendemen) masing-masing produk group

7. Menyediakan daftar jenis-jenis pohon yang dilindungi seperti yang tercantum dalam CITES

8. Menyediakan dokumen AMDAL atau sejenis (perusahaan bila ada) atau UKL dan UPL

9. Menyediakan dokumen faktur kayu (FAKB atau FAKO) atau sejenis sebagai bukti angkutan
produk kayu

10. Membuat daftar supplier kayu dan quantity rata-rata yang dikirim setiap bulan atau per
tahun.

11. Membuat daftar pembeli produk (buyer) dan quantity-nya (rata-rata) per bulan atau per
tahun

12. Rekaman pelaksanaan pelatihan CoC bagi karyawan

13. Laporan Internal audit CoC Dokumen Legalitas perusahaan (VLO)

14. Menyediakan dokumen akte perusahaan dan pendiriannya

15. ijin usaha (SIUP) atau sejenis

16. Ijin Usaha Industri (IUI) atau Tanda daftar Industri

17. Surat dari BKPM

18. Tanda Daftar Perusahaan

19.NPWP

20. RPBBI (Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri)

21. bukti pembayaran pajak atau iuran sejenis (bila ada)

22. laporan-laporan penerimaan bahan baku dan pengiriman produk per bulan


B. Yang diperlukan oleh Supplier (bahan baku/log/pengelola hutan/pemegang ijin tebangan
kayu) untuk VLO :

1. dokumen legalitas perusahaan (akte pendirian, SIUPP) atau sejenis

2. dokumen ijin pengelolaan SK HPH/HTI (untuk perhutani : dokumen yang relevan atau equal)
dari pemerintah

3. Ijin menebang (RTT/Rencana teknik tahunan untuk Perhutani atau RKT untuk Hutan
alam/HPH)

4. Rencana pengelolaan jangka panjang atau Rencana pengelolaan kelestarian hasil atu RPKH
untuk perhutani atau RKPH untuk HPH

5. dokumen AMDAL atau sejeni yang relevan (RKL/RPL atau UKL/UPL) bila ada dan relevan

6. dokumen daftar species yang dilindungi oleh CITES (bila ada)

7. ijin penggunaan alat tebangan

8. bukti pembayaran pajak atas hasil hutan (PSDH atau DR) bila relevan

9. Pengecekan ke lapangan (ke blok tebangan)

10.prosedur-prosedur terkait kegiatan operasional

11.Berita Acara tata batas

12.Peta-peta Untuk sumber bahan baku Hutan Rakyat :
1. Bukti kepemilikan tanah/lahan (persil tanah, bukti pembayaan PBB)
2. Bukti pembayaran PBB
3. Peta atau sketsa lokasi tanah/hutan
4. dokumen catatan Penebangan
5. dokumen angkutan kayu (yang relevan/SKAU)
6. kwitansi penjualan
7. Bukti tebangan fisik (tunggak kayu, dll.) – bila dapat

Semoga dapat di mengerti.

Let's Go GREEN PRODUCT...
read more “DAFTAR DOKUMEN YANG DIPERLUKAN UNTUK AUDIT VLO (VERIFICATION OF LEGAL ORIGIN) DAN LACAK BALAK/COC”

Chain of Custody ( CoC )











Trends, opportunity and implementation

By : ACC (Asmindo Certification Care) PUSAT - Jakarta

Chain of Custody has currently been well heard among the wood processing industry in Indonesia as well as worldwide. This term was familiar in Indonesia since mid 90’s when Perhutani became the first forest concession who achieved FSC certification as a well managed forest.
In this article, I will try to share my personal experience dealing with chain of custody, while at the field doing consulting services, learning from various standards, as well as interviewing business owners in the furniture industry, flooring and paper industry.
It turns out that chain of custody or in more specific term, wood certification, has become a trend in USA and EU in the past 4 years. Buyers from these markets have started to demand COC certification, whether FSC, PEFC or at the least VLO. Even several tradeshow managements in Europe have required some kind of wood certification to participate in the events.. If not FSC than the participants should be able to demonstrate that their wood has been sourced legally.
It is obvious than, that most exporting countries have taken steps to improve their procurement policy in order to ensure that wood entering their countries has been sourced from well managed forests.
The next question is of course the readiness of producers to fulfill the above requirement. Implementing COC itself is not such a big headache. The most important foundation is the commitment from the top management. Once the top management believes that chain of custody is a tool to open and maintain its market than the implementation at the operation floor – upstream to downstream - is much easier.
There are several main aspects that a company should maintain in the implementation of COC, such as :

1. Quality Management
In quality management, the company should :
a. Appoint a management representative who is responsible for the whole
implementation of COC in the company. The management representative is
assisted by a team responsible for COC in each division.
b. Establish and maintain a standard operational procedure for the entire
operation in the company. For example : purchasing procedure, receiving
and storing procedure, labeling procedure, shipping procedure etc.
c. Establish and maintain a training procedure as well as to define the
qualification and training measure required by each personnel responsible
for each procedure.
d. Establish and maintain a procedure to ensure that all documentation and
records are kept at least for 5 years.
.
2. Certification Scope
There are 2 things that we have to provide to complete certification scope :
a. Product Group
In the product group the company should specify which product will be claimed
as certified. The product Group schedule should include species, raw
material category, FSC claim of the product, and the type of product. The
company should also specify the system used to control the FSC claim, whether
transfer, percentage or credit.
b. Outsourcing
All outsourcing activities should be bound with an agreement between the
company and the subcontractors to ensure that each subcontractor follows all
the requirements set by the company.

3. Raw Material Sourcing
The company should specify the category of its raw material. Firstly the
company should separate if their material is certified or non certified. If the
material is certified, according to FSC standard, the raw material is further
categorized as recycled (post consumer and pre consumer), pure (fresh cut
timber), mixed, controlled wood, and controlled material. If the company buys
certified material, they need to ensure that the vendor’s certificate is still
valid and the supplied material is included in vendor’s product group, by
accessing ww.fsc-info.org.

4. Receiving and Storing
On receiving of certified material the company should separate, mark and record
each item with care, physically and documented. This is important to avoid any
mistake in the subsequent processing stages such as in production, finished
product storing, or even shipment.

5. Shipment
In the shipment process, the company should ensure that they have quoted the FSC
claim of the product and the company’s FSC certificate number in shipment
invoice and other shipping or transport documentation such as packing list and
bill of lading.

6. Volume Control
Volume control is mandatory in COC to ensure that the company has utilized a
proper proportion of raw material and convert it into finished product. The
volume control includes volume of incoming raw material, raw material used in
production, raw material in stock, compared with volume of finished product,
sold and in stock. These numbers should be in balance with the conversion factor
employed by the company. In this essence volume control plays an important tool
for company management to see if their production efficiency has met their
expectation.

7. Marketing, Advertising and Public Information
Once the company has passed FSC certification audit, they will be entitled to
use FSC label on product and or FSc logo for promotional use. However prior to
using the trademarks the company should get a written proposal from the
Certification Body.
The above is a simple description of how to implement FSC COC in a company.
Normally to some extent a company has already implemented their own traceability
procedure. However some requirements in the FSC standard sometimes are missing
and should be included in those procedures. For more information of FSC
standards and requirement, you can click www.fsc.org.
Happy browsing !
read more “Chain of Custody ( CoC )”