Rontoknya Industri Nasional




KIAN hari jalan menuju rontoknya industri nasional kian nyata. Deindustrialisasi yang enam tahun lalu masih berupa kekhawatiran, kini mulai menjelma menjadi kenyataan.

Hasil survei Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di lima provinsi pada 2010 meneguhkan fakta itu. Banyak pengusaha kecil dan menengah beralih menjadi pedagang, karena banyaknya hambatan berproduksi.

Itulah misalnya yang menimpa mayoritas penjahit penghasil produk tekstil industri rumah tangga. Mereka tidak sanggup lagi bertahan sebagai produsen. Sebab, bertahan menjadi produsen sama saja dengan bunuh diri.

Bunuh diri, karena bahan baku sulit diperoleh dan tarif listrik terus naik, menyebabkan ongkos memproduksi terus membengkak. Dua hal itu saja membuat mereka tidak mampu bersaing dengan barang China yang membanjiri negeri ini dengan harga lebih murah.

Padahal, industri rumah tangga seperti tekstil merupakan embrio industri yang lebih besar. ISEI memprediksi apabila embrionya saja sudah tidak mampu bertahan, dalam waktu 2-3 tahun, jika tidak ada pembenahan, industri nasional bakal ambruk.

Kalau industri ambruk, bisa dibayangkan pengangguran bakal meningkat akibat banyaknya pemutusan hubungan kerja. Dampak selanjutnya, jumlah orang miskin yang diklaim pemerintah mulai berkurang, dipastikan membengkak lagi.

Celaka lima belas, pemerintah seperti tidak terlalu peduli. Pemerintah lebih sibuk memainkan peran sebagai politisi sehingga hampir semua persoalan dikalkulasi dalam bingkai politik praktis. Intinya, asalkan tidak membahayakan kepentingan politik di 2014, mau industri ngos-ngosan, sempoyongan, atau roboh sekalipun tidak masalah. Yang penting retorika memajukan industri dan membela kepentingan mereka harus tetap digaungkan.

Perkara ada kesenjangan antara retorika dan fakta, itu soal lain. Dinilai gagal pun bukan persoalan, asalkan tidak dituding berbohong.

Pemerintah seperti membiarkan industri nasional bak anak tiri di negeri sendiri. Mereka hidup bagaikan tanpa memiliki pemerintah. Mereka berperang sendiri melawan rupa-rupa persoalan. Meminta bantuan pemerintah, yang diminta bantuan malah menuding para pengusaha cengeng dan suka mengeluh.

Padahal, tanda-tanda menuju deindustrialisasi sudah mulai tampak lima tahun lalu. Itu bisa dibaca dari pertumbuhan industri nasional yang terus turun dalam empat tahun terakhir. Pada 2004, pertumbuhan industri masih 7,5%. Tapi pada 2005 turun menjadi 5,9%, tahun berikutnya melorot menjadi 5,3%, dan pada 2007 hanya tumbuh 5,15%.

Pada 2008 industri kita tumbuh 3,66%. Bahkan, pada 2009, akibat krisis ekonomi global industri kita cuma tumbuh 2,6%.

Padahal, pada masa sebelum krisis ekonomi 1997-1998, perekonomian nasional sangat ditopang industri yang tumbuh rata-rata 12% per tahun. Kini, pertumbuhan industri kita lebih rendah daripada pertumbuhan produk domestik bruto.

Kalau negara ini tidak ingin menyaksikan industri nasional sekarat, setoplah beretorika memajukan industri. Gantilah dengan langkah cepat memberantas semua persoalan yang melilit industri dengan kebijakan yang proindustri.

Kebiasaan menuding pengusaha cengeng dan suka mengeluh harus dihentikan, karena yang mereka keluhkan memang persoalan yang hanya bisa ditanggulangi oleh pemerintah.

Contohnya, sampai kapan pemerintah membiarkan negara ini dijajah oleh produk tekstil murah dan murahan buatan China?

Sumber Berita : http://www.mediaindonesia.com

0 komentar:

Posting Komentar