Industri Hancur, Rakyat Menganggur




ANCAMAN PERDAGANGAN BEBAS
Hendrawan Supratikno, Anggota Komisi VI DPR.

JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah tidak boleh lepas tangan membiarkan industri di dalam negeri terpuruk akibat kian derasnya serbuan produk impor. Makin banyaknya industri yang tutup karena tidak mampu menghasilkan produk yang berdaya saing untuk menandingi impor niscaya memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menyusutkan lapangan kerja.
Demikian pendapat pengamat ekonomi internasional Syamsul Hadi di Jakarta kemarin. Dalam kesempatan terpisah, anggota Komisi VI DPR Hendrawan Supratikno dan guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang Ahmad Erani Yustika juga menuturkan pendapat hampir senada.
Mereka menilai, selama ini pemerintah menerapkan liberalisasi perdagangan berdasarkan sistem perdagangan bebas secara penuh. Dalam hal ini, arus masuk barang impor tidak dikenai bea masuk (BM). Akibatnya, pasar lokal didominasi produk impor.
Di sisi lain, pemerintah tidak kunjung merealisasikan komitmen meningkatkan daya saing industri di dalam negeri. Sementara barang impor yang masuk ke dalam negeri tergolong murah dan berkualitas karena dihasilkan industri yang mendapat dukungan penuh pemerintah.
Menurut Syamsul Hadi, pemerintah jangan terkesan melupakan upaya peningkatan daya saing produk nasional yang dihasilkan industri dalam negeri. Pemerintah saat ini lebih banyak menyiapkan peraturan yang justru mendorong liberalisasi perdagangan. Padahal, yang seharusnya diutamakan adalah menyiapkan produk unggulan nasional untuk bersaing di pasar internasional.
"Saat saya ke Korea Selatan, mulai dari ibu kota hingga ke daerah pedesaan, rata-rata masyarakatnya menggunakan produk yang dibuat oleh industrinya sendiri. Di negara kita, rata-rata barang yang dipakai masyarakat buatan China dan Jepang," katanya di Jakarta kemarin.
Menurut Syamsul Hadi, pemerintah selaku pembuat kebijakan masih mengikuti pola pikir globalisasi dan liberalisasi. Pemerintah mengikuti paham bahwa dalam globalisasi saat ini, berbagai negara berada pada tahapan yang sama di dalam bidang perdagangan. Dalam hal ini semua negara kompetitor memiliki kesempatan yang sama. Karena itu, para penganut ideologi globalisasi sangat menggemari gerakan yang mendukung liberalisasi dan perdagangan bebas, seperti China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA).
Padahal beberapa bulan setelah diberlakukannya perjanjian perdagangan bebas China-ASEAN (CAFTA), volume barang impor seperti mainan anak-anak, tekstil, dan lain-lain menunjukkan peningkatan pesat. Ini berujung pada penutupan sejumlah perusahaan dan industri di dalam negeri.
Sementara itu, Hendrawan Supratikno mengatakan, kebijakan ekonomi pemerintah yang makin liberal malah akan berdampak pada mandeknya perekonomian nasional. Ancaman deindustrialisasi, membeludaknya angka pengangguran dan kemiskinan merupakan cerminan nyata yang akan diterima Indonesia dengan kebijakan liberalisasi perdagangan yang diusung pemerintah ini.
Menurut dia, seharusnya politik ekonomi yang dilakukan pemerintah mengacu pada amanat konstitusi, sehingga kebijakan yang dirumuskan dilaksanakan untuk menyejahterakan bangsa dan rakyat Indonesia. "Kalau liberalisasi tidak punya arah yang jelas dan tidak mengacu pada konstitusi, jadinya pasti amburadul dan menyengsarakan rakyat," katanya.
Amanat pada Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 tentang perekonomian nasional, tentunya harus disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Kata "disusun" ini harus ditelaah dengan baik karena menitahkan peran aktif pemerintah. Jadi, bukan malah melakukan pembiaran seperti yang dilakukan saat ini (mekanisme pasar).
"Politik ekonomi keterlibatan (hands-on) harus dijalankan, bukan pembiaran (hands-off)," tuturnya.
Lebih jauh dia mengatakan, bagaimanapun bentuk liberalisasi yang dianut suatu negara dalam bidang perdagangan, maka negara tetap harus memunyai peran untuk mengatur pasar. Jika pemerintah melepaskan semua pada kebijakan mekanisme pasar, maka tentunya rakyat yang akan menjadi korban dan akan mengalami proses marginalisasi permanen. Namun, tampaknya masalah ini tidak menjadi perhatian pemerintah dan terbukti kebijakan yang ada justru mendorong masuknya barang-barang impor nyaris tanpa hambatan.
Untuk itu, kebijakan liberalisasi harus diatur secara ketat, baik menyangkut tahapannya (stage), urutannya (squence) maupun kecepatannya (pace). Tentunya liberalisasi juga boleh dilakukan, tetapi hanya untuk memfasilitasi terciptanya kompetisi sehat agar efisiensi industri dicapai. Namun, tampaknya ini tidak menjadi fokus pemerintah dan menerapkan sistem perdagangan bebas secara penuh.
Pemerintah juga tidak pernah melihat kalau setiap kebijakan terkait masalah ekspor-impor, seperti pengenaan bea masuk, juga harus menyertakan skenario terkait dampaknya (regulatory impact assessment). Dengan ini, pemerintah bisa melakukan antisipasi dengan tepat dan cermat terkait apa yang harus disiapkan untuk melaksanakan perdagangan bebas.
Di lain pihak, Ahmad Erani Yustika mengatakan, permasalahan maraknya barang impor dan kian terpuruknya industri nasional yang terjadi saat ini hendaknya dilihat dari banyak aspek. Saat ini, pemerintah tidak lagi menempatkan sektor pertanian dan industri sebagai pendorong kegiatan ekonomi. Pemerintah lebih suka mengurus dan mendorong sektor jasa dan keuangan (non-tradable), seperti telekomunikasi, perdagangan, dan lainnya. Sektor-sektor ini dinilai pemerintah lebih menjanjikan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya, pemerintah tidak lagi memperhatikan pohon industri untuk ditata secara rapi. Akibatnya, sub-sub sektor industri yang berkembang tidak berdasarkan desain yang jelas. Padahal, pohon industri ini penting untuk dibangun, karena akan menentukan sektor primer yang dikembangkan dan sektor hilir/jasa yang ditumbuhkan. Apalagi, keterkaitan antarsektor menjadi lenyap karena ketidakjelasan pohon industri itu.
Pemerintah sendiri, lanjutnya, keliru dalam mendesain insentif ekonomi dengan menerapkan perdagangan bebas meski sektor industri belum cukup kuat, misalnya industri mebel berbasis rotan. Bahan baku rotan dibiarkan dibawa ke luar negeri. Padahal, industri domestik juga membutuhkan pasokan yang cukup. Begitu juga dengan kelapa sawit mentah yang terus-menerus diekspor karena tidak ada insentif untuk membangun industri pengolahan kelapa sawit.
"Sektor keuangan semakin jauh dari sektor industri karena tidak ada konsep yang konkret untuk mendukung pembangunan industri. Dahulu ada Bank Exim yang bisa menopang kegiatan ekspor-impor dan BNI untuk sektor tertentu. Namun, sekarang ini tidak ada desain yang jelas seperti yang dilakukan di masa lalu. Mestinya setiap bank pemerintah diberi beban untuk mengembangkan subsektor tertentu, seperti yang dilakukan Jepang," ujarnya.
Lebih jauh Erani menjelaskan, dibutuhkan kelembagaan yang solid untuk melindungi industri dalam negeri. Hal tersebut dilakukan dengan memberikan insentif untuk kegiatan produksi dan distribusi barang yang dibangun secara permanen. Namun, saat ini seluruh lini kegiatan sektor industri dijalankan dengan mengandalkan "hukum rimba" yang dipenuhi dengan "ekonomi mafia". Tidak ada perlindungan terhadap hak kepemilikan, sehingga pemalsuan, penjiplakan, dan aneka pembajakan terus terjadi tiap hari.
"Seluruh pekerjaan rumah inilah yang harus dirampungkan untuk membangun sektor industri yang tangguh," tuturnya. (Bayu)

Sumber Berita : http://www.suarakarya-online.com

0 komentar:

Posting Komentar